Film 5cm sempat
sangat membahana di dunia perfilman di Indonesia, terutama di kalangan para
pendaki gunung. Film yang menurut saya bagus untuk di tonton ini ternyata
menyimpan segudang masalah pasca pembuatannya dan dampak setelahnya.
Selain
banyak mengundang kontra dari beberapa kalangan pendaki se-Indonesia, pembuatan
film ini juga berdampak buruk bagi kelangsungan ekosistem di TNBTS sebagaimana
tempat Film ini dibuat.
Herjunot
Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Pevita Pearce, Igor Saykoji, dan Denny Sumargo
tiba-tiba saja menjadi idola di kalangan ana-anak pendaki gunung. Kelima artis
peran ini lewat film garapan Rizal Mantovani yang diproduseri oleh Sunil Soraya
kemudian ikut pula menggairahkan pendakian gunung di Indonesia.
Diangkat
dari novel best seller karya Donny Dhirgantoro yang berjudul 5 CM, film layar
lebar ini diberi judul yang sama. Dibagian akhir film, para tokoh dalam film
ini kemudian melakukan pendakian ke puncak tertinggi di Pulau Jawa, Semeru.
Tentu saja lokasi pembuatan film ini juga berada di kawasan elite buat para
anak-anak pehoby trekking di gunung, yaitu di kawasan Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru (TNBTS) di Jawa Timur. Namun kemudian banyak yang terjebak
dengan film ini. Film 5 CM bukan sebuah film tentang pendakian gunung, tapi
lebih bercerita tentang sebuah persahabatan. Hanya saja, ada cerita dimana
mereka melakukan kegiatan pendakian ke gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Dalam dunia
kepariwisataan film ini sebenarnya sangat berdampak bagus sekali, karena
semenjak film ini di tayangkan menjadi semakin banyak para pemuda bersama
kawan-kawannya yang menjadi terpacu untuk medaki gunung.
Namun
yang menghebohkan dan membuat geger para “Pecinta Alam” bukan filmnya, tapi
proses pembuatan film itu sendiri, terutama proses pengambilan gambar di kawasan
TNBTS. Baru beberapa hari saja kru datang mempersiapkan segala sesuatunya di
Ranu Kumbolo, anak-anak pecinta alam di Jawa Timur sudah geger di jejaring
sosial.
Dan banyak foto-foto
beredar di sebuah group pecinta alam, yang merekam kegiatan pengambilan gambar di
sana. Anak-anak pecinta alam di group jejaring sosial Facebook pun saling
berantem, berdiskusi tentang pelaksanaan pembuatan film oleh Ram Soraya ini.
Biang
keladinya teryata tuduhan perusakan lingkungan di kawasan TNBTS oleh para kru
film Ram Soraya. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh para relawan,
ternyata logistik mereka sangat fantastis. Dari kru film saja mereka membawa
rombongan sebanyak 100 orang, sedangkan kru lokal sebanyak 150 orang yang
bertugas sebagai porter. Logistiknya seberat 1200 kg dan ditambah 2500 kg
peralatan sinematografi dan segala macam tetek bengeknya. Dapur umum untuk
konsumsi tiap hari ada 4 buah, dengan dua dapur umum memakai bahan bakar kayu.
Dan tentu saja banyak para kru yang mandi dan mencuci di danau Ranu Kumbolo yang
terkenal itu.
Dan semenjak itu pula para
wisatawan melakukan hal yang sama yang padahal sebelumnya tidak di perbolehkan
untuk melakukan hal-hal yang dapar mencemari keindahan danau Ranu Kumbolo
tersebut.
Yang mungkin paling tidak bisa
di toleransi adalah saat dimana cara mereka memenuhi kayu untuk dapur dan untuk
menghangatkan badan ketika suhu dingin. Ini dia
perkaranya, para
kru film ini menebang pohon cemara yang ada di kawasan TNBTS. Ada 3 batang
pohon dengan diameter 60-80 cm, dan puluhan pohon dengan diameter 20-40 cm yang
ditebang untuk keperluan mereka. Dari 3 batang pohon dengan diameter 60-80 cm
ini, jika dikumpulkan akan menghasilkan paling tidak 20 kubik kayu. Sedangkan
dari pohon dengan diameter 20-40 sm, jika yang ditebang 20 pohon saja akan menghasilkan
100 kubik kayu bakar. Jadi ada sekitar 120 kubik kayu yang dihasilkan dari
penebangan pohon oleh kru film “5 CM”.
Sekedar
catatan, untuk jenis pohon cemara yang ada di kawasan TNBTS, untuk mencapai
diameter 60-80 cm dibutuhkan paling tidak lebih dari 50 tahun. Dan populasi
pohon ini sudah sangat sedikit dikawasan TNBTS. Rupanya ini yang menjadi
pangkal kemarahan para anak-anak pecinta alam dan fans berat Gunung Semeru.
Ada
banyak jenis SIMAKSI yang bisa dikeluarkan untuk para pengunjung Taman
Nasional. Ada SIMAKSI untuk para pendaki yang notabene sebagai wisatawan biasa,
ada SIMAKSI untuk peneliti, juga untuk pengambilan gambar baik foto maupun
video komersial seperti pembuatan film dan iklan. Untuk yang terakhir ini,
mereka kemudian wajib membayar royalti ke kas negara atas hasil yang didapat
dari kegiatan komersial yang dilakukan di kawasan TNBTS. Hal ini, saya tidak
tahu, apakah Ram Soraya membayar royalti ke Kas Negara atau tidak atas hasil
dari film 5 CM?
Jadi untuk
sekedar membuat film yang ternyata bukan sebuah film petualangan di gunung,
dengan judul 5CM harus menghabiskan kayu sebanyak 120 kubik hasil dari
perusakan di kawasan TNBTS. Ini yang membuat mereka marah! Dan mungkin mereka
sekarang sedang menggalang kekuatan dan dana untuk menggugat produser film
secara hukum atas perusakan di TNBTS ini.
Semoga dari
kejadian ini yang mungkin baru pertama kali terjadi di Indonesia, tidak
terulang lagi.
Neria Chairunnisa - 3SA01 - 15611134
Kepariwisataan 2 (Softskill)
No comments:
Post a Comment